KONTRIBUSI TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
DALAM PERKEMBANGAN TEORI KOMUNIKASI MASSA
Oleh:
Farid Hamid U.S.Sos., M.Si.[1]
Abstrak
Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat multi-disipliner, yang banyak mendapatkan sumbangan pemikiran dari keilmuan lain. Salah satu sumbangan yang penting adalah perspektif struktural fungsional yang memberikan opengaruh kepada teori-teori komunikasi selanjutnya, seperti teori uses and gratifications, teori perbedaan individu, teori penggolongan sosial, teori hubungan sosial, teori norma-norma budaya, dan teori spiral keheningan dalam kajian komunikasi massa.
ABSTRACT
Communications science represent science having the character of multi-discipliner, which getting many idea contribution from other science. One of the important contribution is structural functional perspective which give influence to communication theory, like uses and gratifications theory, individual difference theory, social classification theory, The Social Relationship Theory, The Cultural Norms Theory, and spiral of silence theory in mass communications study.
A. Pendahuluan
Ilmu komunikasi, menurut Berger dan Chaffee (1987:15), adalah “salah satu ilmu pengetahuan yang bertujuan mengamati dan mempelajari produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan digeneralisasikan untuk menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang”. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat multi-disipliner dan bidang kajiannya sangat luas. Disebut demikian karena untuk fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang konteksnya sangat luas, mencakup berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi dan politik dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan keilmuan lainnya seperti sosiologi, psikologi, politik, linguistik, ekonomi, antropologi, dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk ilmu eksakta.
Sosiologi sebagai salah satu landasan ilmiah dalam perkembangan ilmu komunikasi, ternyata memberikan kontribusi yang penting dalam perspektif maupun perkembangan teori-teori komunikasi itu sendiri. Salah satu perspektif dari Sosiologi yang turut mewarnai perkembangan teori-teori komunikasi itu adalah teori struktural fungsional.
B. Teori Struktural Fungsional
Asumsi teori struktural fungsional adalah: masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sistem) yang saling berhubungan satu sama lain. (Nasikun,1996:10).
Teori struktural fungsional mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat yang dianalogikan dengan organisme biologis. Masyarakat maupun organisme biologis sama-sama mengalami pertumbuhan. Tiap bagian yang tumbuh di dalam masyarakat memiliki fingsi dan tujuan tertentu. Plato misalnya membandingkan tiga kelas sosial, yakni penguasa, militer dan kaum pekerja, masing-masing dengan daya pikir, perasaan atau semangat dan nafsu.
Pendekatan struktural fungsional memiliki sejumlah anggapan dasar, seperti yang dikemukakan Inkeles (1964) dalam Nasikun (1995), yaitu:
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis: menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem hanya akan mencapai derajat yang minimal.
4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi, akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi.
5. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
Pendekatan struktural fungsional dalam kaitannya dengan perilaku manusia, menolak gagasan-gsgasan tentang jiwa, spirit, kemauan, pikiran, introspeksi, kesadaran, subjektivitas, dan sebagainya, karena konsep-konsep itu tidak dapat diamati secara objektif. Dengan kata lain, pendekatan ini terhadap manusia berusaha mengukur pengaruh struktur sosial terhadap identitas, respons dan perilaku manusia melalui peran (role), sosialisasi, dan keanggotaan kelompok mereka. Pendekatan ini jelas menekankan orientasi peran dalam arti bahwa ia memandang manusia pada dasarnya ditentukan secara sosial (socially-determined).
Bagi pandangan struktural, struktur sosial sangat kukuh dan mempengaruhi perilaku manusia. Struktur sosial terbentuk lama sebelum kita lahir dan akan tetap ada setelah kita mati. Kita tidak dapat memilih posisi kita dalam struktur sosial tersebut: ras, jenis kelamin, agama, kelas sosial orang tua, pendeknya budaya yang kedalamnya kita lahir. Manusia tersosialisasikan oleh budaya itu; mereka mengikuti aturan-aturan yang ditetapkannya: bahasa, cara berbicara, etiket bergaul (termasuk sopan santun dalam keluarga), cara makan dan jenis makanan yang dimakan, dan sebagainya. Bahkan semasa manusia berada dalam kandunganpun mereka dipengaruhi oleh budaya (misalnya lewat upacara tujuh bulanan) atau setelah mereka mati (dimakamkan dengan cara tertentu). Struktur sosial itulah yang dianggap penting oleh pendekatan struktural, karena itu mempengaruhi manusia berpikir, berperilaku dan mewarnai identitas mereka. Pendeknya manusia dikontrol oleh (struktur) masyarakat di luar dirinya sendiri. Jadi masyarakat tetap dianggap statis.
C. Berbagai Sistem Yang Mempengaruhi Komunikasi Massa
Pada pendekatan struktural fungsional, masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa bagian yang saling berkaitan (sub sistem). Setiap sub sistem memiliki peran yang berarti. Salah satu di antara sekian banyak sub sistem itu ialah media. Kehidupan sosial yang teratur memerlukan pemeliharaan terhadap semua bagian masyarakat dan lingkungan sosial secara cermat dan berkesinambungan. Dengan demikian, citra media yang ditonjolkan selalu dihubungkan dengan semua tersebut. Dengan kata lain, media diharapkan dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban, dan memiliki kemampuan memberikan respons terhadap kemungkinan baru yang didasarkan pada realitas sebenarnya.
Selain menjalankan harapan masyarakat, media itu sendiri berjalan sesuai dengan fungsinya, dimana fungsi yang dijalaninya didasarkan pada kesepakatan media dengan masyarakat di mana media itu berada. Bisa jadi lingkungan sosial A menilai positif fungsi tersebut sedangkan lingkungan sosial B menilainya negatif. Media selain sebagai sub sistem, juga berperan sebagai sistem yang memiliki sub sistem-sub sistem yang saling berhubungan. baik didalam maupun di luar media itu sendiri.
Oleh karenanya berbicara mengenai organisasi media kita tidak dapat mengabaikan berbagai hubungan di dalam maupun di luar ruang lingkup organisasi tersebut. Berbagai hubungan tersebut dapat berwujud negosiasi aktif, pertukaran dan kadangkala juga berupa konflik, baik yang tersembunyi maupun yang aktual. Hal ini menunjukkan peran komunikasi di satu pihak sebagai penghubung yang menyebarkan pesan dalam kalangan para calon “penyokong”, serta di lain pihak sebagai penghubung dalam publik yang berusaha memenuhi kebutuhan informasi dan kebutuhan komunikasi lainnya.
Gerbner, (dalam McQuail, 1991) menggambarkan para komunikator massa dalam situasi yang tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari pelbagai kekuatan luar, termasuk dari klien (misalnya para pemasang iklan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), pakar, institusi lain dan khalayak.
Gambar Organisasi Media Di Tengah Kekuatan Sosial
Pesaing
Agen Berita /Informasi
Pemasang Iklan
Pemilik Serikat Kerja
Manajemen
Teknik
Pelaksana Media
Peristiwa + penyediaan informasi dan budaya secara berkesinambungan
Kepentingan/tuntutan khalayak
Kontrol hukum/politik
Institusi sosial lainnya
Kekuatan Sosial -Budaya
Kekuatan Ekonomi
(Denis McQuail, 1991:142)
Berdasarkan gambar diatas memungkinkan kita mengidentifikasi lima bentuk hubungan yang perlu mendapat perhatian, karena hal-hal tersebut di atas dapat untuk mempelajari kondisi yang mempengaruhi sebuah organisasi (sebagai sebuah sistem). Kelima hubungan tersebut adalah :
a. Hubungan dengan masyarakat
Sistem dalam masyarakat akan mempengaruhi sistem media/komunikasi massa yang ada.
b. Hubungan dengan klien, pemilik, dan pemasok (supplier)
Hubungan ini memberi tekanan tersendiri bagi media, terutama untuk memperhatikan apa yang “laku” atau diinginkan masyarakat.
c. Hubungan dengan sumber
Hubungan dengan sumber terutama terjadi saat media melakukan seleksi dan pemilihan sumber-sumber yang banyak. Tekanan memilih sumber berita terjadi ketika media dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti pemodal atau tetap pada pilihan media yang bebas dan kredibel.
d. Hubungan antar peran yang berbeda dalam organisasi
Dalam suatu organisasi pun terdapat pembagian peran karena adanya keanekaragaman fungsi dalam organisasi media, yang terdiri dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda serta saling bersaing.
e. Hubungan dengan khalayak
Komunikator (dalam hal ini media) sebenarnya tidak ingin terlalu memperhatikan publik. Jadi media berusaha untuk independen, namun adanya tekanan dari klien, pemilik modal dan khalayak membuat perkembangan publik dinilai penting oleh media.
Adanya hubungan-hubungan tadi menunjukkan bahwa sistem tidak bisa begitu saja lepas dari pengaruh sub-sub sistem yang ada disekitarnya, seperti halnya dalam media.
Ada hal-hal yang sangat menarik, mengenai hubungan antara sistem (media) dengan sub sistem lainnya. Menurut Ashadi Siregar (dalam Rahayu, 2000), pers dalam paradigma struktural fungsional bertolak dari fungsi media pada sistem sosial. Pers dalam paradigma ini dipandang sebagai salah satu komponen penting dalam struktur sosial. Pada posisinya, pers berfungsi memelihara stabilitas dan harmoni antar komponen yang lain dalam masyarakat dengan cara menyampaikan informasi. Dalam kedudukannya ini, pers dikenal sebagai institusi sosial yang berada di antara institusi budaya, politik, dan ekonomi dalam struktur sosial. Dalam menjalankan fungsinya, pers berada dalam upaya tarik menarik di antara dua tuntutan, di satu pihak memenuhi keinginan pengelola, dan di pihak lain memenuhi tuntutan yang datang dari institusi politik, ekonomi atau sosial kultural dan masyarakat. Walaupun demikian, dalam paradigma ini keberadaan pers selalu dilihat dalam kerangka kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang mapan dalam sistem sosial.
Walaupun dalam kajian yang diungkapkan oleh Ashadi Siregar dari sudut pandang pers namun sedikit banyak sudah menggambarkan sistem media yang terjadi di Indonesia. Apalagi keterkaitan antara media dengan pemilik modal kadang-kadang memberi tekanan yang sangat besar karena ikut mempengaruhi idealisme media tersebut saat menjalankan fungsinya.
D. Teori Struktural Fungsional Yang Mempengaruhi Komunikasi Massa
Beberapa asumsi dasar media dalam hubungannya dengan kerangka teori:
a. Institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial.
b. Media massa memiliki peran mediasi (penengah/penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa berperan sebagai penengah dan penghubung dalam pengertian bahwa: media massa seringkali berada di antara kita (sebagai penerima) dengan bagian pengalaman lain yang berada di luar persepsi dan kontak langsung kita; media massa dapat saja berada diantara kita dengan institusi lainnya yang ada kaitannya dengan kegiatan kita, hukum, industri, pemerintahan, dan lain-lain; media massa dapat menyediakan saluran penghubung bagi pelbagai institusi yang berbeda; media juga menyalurkan pihak lain untuk menghubungi kita.
Kerangka Acuan Untuk Memahami Mediasi
Dalam hal mediasi, media massa terdapat diantara dua hal yaitu, institusi besar dan pusat kekuasaan sedangkan hal lainnya adalah anggota keluarga, asosiasi, anggota kerja, komunitas, yang mengalami dan menjalankan konsekuensi kegiatan institusi dan perubahan lingkungan.
Hubungan Antara Media dengan Institusi Lain:
a. Terdapat beberapa kaidah normatif dan filsafat umum menyangkut hubungan yang baik antara pers dengan masyarakat.
b. Terdapat beberapa ikatan formal dalam wujud peraturan hukum, yang dalam beberapa hal membatasi kebebasan media, tetapi dalam beberapa hal lainnya justeru mengarahkan media ke sasaran yang positip.
c. Terdapat hubungan ekonomi yang mengaitkan media dengan institusi sosial lainnya.
d. Terdapat banyak hubungan informal antara media dengan masyarakat yang berlangsung secara dua arah dan diwarnai oleh hubungan timbal balik.
Pendekatan struktural fungsional sebagaimana pendekatan behavioristik termasuk dalam pendekatan objektif atau pendekatan ilmiah (saintifik). Tetapi pendekatan struktural fungsional ini tidak se-objektif atau tingkat deterministiknya sedikit dibawah pendekatan behavioristik. Hal ini terjadi karena pendekatan struktural fungsional menganggap khalayak cukup aktif (tidak terlalu pasif).
Beberapa model atau teori komunikasi massa yang termasuk dalam pendekatan struktural fungsional, antara lain:
1. Teori Uses and Gratifications dari Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch.
Pendekatan ini mempunyai karakteristik yang fungsionalistik. Misalnya, konsumsi media melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dan dianggap membentuk keseimbangan dalam memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan.
2. Teori Perbedaan individu (The individual Differences Theory) - Melvin DeFleur.
Perbedaan individu itu terjadi disebabkan karena perbedaan lingkungan yang menghasilkan pula perbedaan pandangan dalam menghadapi sesuatu. Dari lingkungannya akan akan membentuk sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang mendasari kepribadian mereka.
Dalam hubungannya dengan media, jelas menunjukkan bahwa khalayak dari suatu media komunikasi bukanlah suatu kelompok monolitis yang anggota-anggotanya senantiasa mempunyai tanggapan yang sama terhadap isi media. Atau dengan kata lain, tiap individu berbeda secara kepentingan, kepercayaan maupun nilai-nilainya, maka dengan sendirinya selektivitas mereka terhadap komunikasi massa juga berbeda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh media terhadap individu akan berbeda satu sama lain disebabkan adanya perbedaan di antara individu.
3. Teori Penggolongan Sosial (The Social Category Theory)
Teori ini beranggapan bahwa terdapat penggolongan sosial yang luas dalam masyarakat yang memiliki perilaku yang kurang lebih sama terhadap rangsangan-rangsangan tertentu. Penggolongan tersebut didasarkan pada seks, tingkat penghasilan, pendidikan, tempat tinggal maupun agama.
Dasar dari teori ini adalah teori sosiologi yang berhubungan dengan kemajemukan masyarakat modern, dimana dinyatakan bahwa masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang sama akan membentuk sikap yang sama dalam menghadapi rangsangan tertentu. Falam hubungannya dengan media dapat digambarkan bahwa majalah mode biasanya hanya dibeli oleh wanita, majalah sport dibeli umumnya oleh pria. Variabel-variabel seperti seks, umur, pendidikan tampaknya turut juga menentukan selektivitas seseorang terhadap media yang ditawarkan.
4. Teori hubungan sosial (The Social Relationship Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dalam menerima pesan-pesan komunikasi yang disampaikan oleh media, orang lebih banyak memperoleh pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa. Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media.
Dalam kenyataannya terbukti bahwa orang-orang yang langsung menerima informasi dari media terbatas sekali. Mereka inilah yang merumuskan informasi media tersebut pada orang lain melalui saluran komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication). Berdasarkan hasil penelitian, maka arus informasi akan berjalan atas dua tahap.
Pertama, informasi berkembang melalui media kepada individu-individu yang relatif, “cukup informasi” (well informed), yang umumnya memperoleh informasi langsung.
Kedua, informasi tersebut kemudian berkembang dari mereka yang cukup informasi melalui saluran komunikasi antarpribadi kepada individu-individu yang kurang memiliki hubungan langsung dengan media serta ketergantungan mereka akan informasi pada orang lain besar sekali.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori hubungan sosial mencoba menekankan pentingnya variabel hubungan antarpribadi sebagai sumber informasi sebagai penguat pengaruh media komunikasi.
5. Teori Norma-Norma Budaya (The Cultural Norms Theory)
Teori ini melihat cara-cara media massa mempengaruhi perilaku sebagai suatu produk budaya. Pada hakekatnya, teori ini menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh audience disesuaikan dengan norma-norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya, dalam hal ini media akan bekerja secara tidak langsung untuk mempengaruhi sikap individu tersebut.
Dengan kata lain, media massa dapat mengukuhkan norma-norma budaya dengan informasi-informasi yang disampaikan setiap hari. Selain itu media massa dapat mengaktifkan perilaku tertentu, apabila informasi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan individu serta tidak bertentangan dengan norma budaya yang berlaku.
6. Model Spiral Keheningan (spiral of silence) dari Elisabeth Noelle-Neumann.
Model ini dapat dikatakan sebagai efek komunikasi massa terhadap masyarakat. Dimana model ini membahas bagaimana opini terbentuk. Opini itu terbentuk terletak pada hubungan antara komunikasi massa, komunikasi antarpribadi dan persepsi individu tentang opininya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat.
Ide dasarnya dapat dijelaskan, bahwa sebagian besar individu mencoba menghindari isolasi, dalam pengertian sendirian mempunyai kepercayaan atau sikap tertentu. Karenanya seseorang memperhatikan lingkungannya dalam rangka mempelajari pandangan-pandangan mana yang semakin kuat dan yang mana yang semakin tidak populer. Jika seseorang yakin bahwa pandangannya termasuk dalam kategori yang terakhir, ia akan cenderung tidak ingin menyatakannya karena takut terisolasi. Dengan demikian pendapat yang dominan akan semakin kuat. Hal ini menunjukkan kekuatan persepsi individu, dan media massa itu sendiri.
7. Teori Depedensi Media (Ball-Rokeach dan DeFleur)
Kondisi struktural masyarakat yang dapat mempengaruhi efek media massa. Dimana masyarakat modern cenderung tergantung pada sumber-sumber informasi media massa untuk memperoleh pengetahuan, dan berorientasi kepada, apa-apa saja yang terjadi pada masyarakat mereka. Jenis dan tingkatan ketergantungan akan ditentukan oleh sejumlah kondisi struktural.
E. Daftar Pustaka
Berger & Chaffe (Eds). 1987. Handbook of Communication Science. Newbury Park London –New Delhi: Sage Punlications.
Depari, Edward dan Colin MacAndrews. 1991. Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Martindale, Don. 1960. The Nature and Types of Sociological Theory. Boston: Houghton Mifflin Company.
Mc Quail, Dennis. 1991. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga
Mulyana, Deddy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rahayu. 2000. Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers Pada Strategi Perusahaaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Vol. V/Oktober 2000. Bandung : Remaja Rosdakarya
[1] Penulis adalah mahasiswa Program Doktor (S3) Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
APA KABAR !!!
Selamat datang di blog saya ............
Selasa, 20 Januari 2009
ETNOMETODOLOGI
ETNOMETODOLOGI :
Suatu Penelitian Kualitatif
ETHNOMETHODOLOGY:
A Research Qualitative
Oleh:
Farid Hamid Umarella [1]
ABSTRACT
Ethnomethodology is an American sociology stream. Ethnomethodology is the invention of Harold Garfinkel, whose seminal work is Studies in Ethnomethodology in 1967. Ethnomethodology is reckoning fact of the social groups, and the social groups can comprehend and analyze their self. In simple terms, ethnomethodology seeks to understand how the taken-for-granted character of everyday life is accomplished. The methodology in the term refers not to scientific methodology, but to the methods people use to construct sensible, orderly ways of doing things. These studies more comprehensive to common sense reality, which starting from phenomenology tradition from Schultz. The research domain qualitative that is develops by pass wide and analytical band to various rich construction cover conversation analysis and interpretive method.
Key Words: Ethnomethodology, Common Sense.
A. Pendahuluan
Perkembangan etnometodologi sebenarnya relatif baru bila dibandingkan dengan pendekatan Struktural fungsional dan interaksionis-simbolis yang sudah mapan. Pendekatan etnometodologi memiliki ragam yang berbeda, karena subject matternya adalah berbagai jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu. Etnometodologi dengan analisis percakapannya tidak dapat dipungkiri juga memberi pengaruh yang besar dalam agenda penelitian komunikasi. Khususnya menyangkut konsep percakapan sebagai suatu bentuk interaksi.
Orang sering mengira etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga dipertukarkan dengan etnografi. Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian ilmu sosial. Dikatakan radikal karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara yang dilakukan para sosiolog sebelumnya.
Pada tataran teoretis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim tentang fakta sosial, baginya “aktor-sosial” bersifat menentukan dan tidak pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial. Dalam pemikiran etnometodologi, para sosiolog yang menitikberatkan pada fakta sosial itu disebut sebagai “kesepakatan si-dungu” (judgment-dopes), sebab kalangan etnometodologi melihat fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologi anggota, bersifat lokal dan dihasilkan secara endogenous untuk mengatasi masalahnya sendiri (George Ritzer 1996: 235, Denzin 1994:264).
B. Perspektif yang Mengilhami Etnometodologi
Etnometodologi diilhami oleh karya-karya Talcot Parson dan Alfred Schutz. Sumber lain yang mempengaruhi karyanya adalah Durkheim, Weber, Mannheim, Edmun Husserl, Aaron Gurwitsch, Maurice Merleau-Ponty dan lain-lain. Talcot Parson sendiri adalah promotor Garfinkel ketika melanjutkan pendidikan doktornya pada tahun 1946 sampai dengan 1952 di Universitas Harvard.
Walaupun Garfinkel telah mengakui adanya pengaruh dari para pemikir lain, tetapi terbukti bahwa Schutz dengan fenomenologinya merupakan sumber utama dari etnometodologi. Wajarlah jika. George Ritzer (1975) melihat fenomenologi dan etnometodologi sebagai dua komponen teoritis dari “paradigma definisi sosial” ; Monica Morris (1977) melihatnya sebagai dua variasi dari apa yang disebutnya “sosiologi kreatif”; Jack Douglas (1980) dan Andrew Weigert (1981) memasukkan mereka sebagai “sosiologi kehidupan sehari-hari; dan Richard Hilbert (1986) melihatnya sebagai variasi “konstruksi sosial” (George Ritzer 1992: 371).
Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Di sini terlihat teori Schutz, sangat mirip dengan interaksionis simbolis dari George Herbert Mead, tetapi menurut Schutz dunia intersubyektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda, yang mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatiannya kepada dunia sehari-hari yang merupakan common sense atau diambil begitu saja. Realitas seperti inilah yang kita terima, dengan mengenyampingkan setiap keraguan.
Realitas common-sense dan eksistensi sehari-hari itu dapat disebut sebagai kepentingan praktis kita dalam dunia sosial. Kepentingan praktis ini dilawankan dengan kepentingan ilmiah atau teoretis kaum ilmiawan. Teori ilmiah mencoba meneliti dan memahami dunia secara sistematis. Menurut Schutz, orang bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah, tetapi oleh kepentingan praktis. Dunia intersubjektif ini sama-sama dimiliki dengan orang lain yang juga mengalaminya.
Pembahasan realitas common sense oleh Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif untuk melaksanakan studi etnometodologinya, dan menyediakan dasar teoretis bagi risalah-risalah etnometodologis yang lain. Etnometodologi secara empiris telah mencoba menunjukkan observasi filosofis yang dilakukan Schutz.
Sumber lain dari etnometodologi.adalah interaksi simbolik khususnya “Aliran Sosiologi Chicago” merupakan asalnya, dan Robert Park, Ernest Burges dan William I. Thomas merupakan tokoh-tokoh utama aliran tersebut. Etnometodologi bersama dengan perspektif labeling theory dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance) dan perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, bahkan dapat dianggap varian-varian interaksionisme simbolik (Deddy Mulyana 2001:68). Etnometodologi mempunyai sejumlah persamaan dengan pendekatan ini, karena sama-sama berpandangan bahwa realitas dunia sosial bersifat subjektif. (Poloma 2003:278). Selain itu dalam interaksi tatapmuka (face to face) kesamaan (commonalities), termasuk sebagai inti analisa, menekankan pentingnya bahasa, dan mencoba menjelaskan realitas empiris dari manusia yang sedang diteliti.
Keotentikkan pengetahuan sosiologi, menurut para interaksionis, terletak di dalam pengalaman langsung dari interaksi sehari-hari. Para aktor memainkan peran kreatif dalam mengkonstruksi kehidupan sehari-hari mereka.
Untuk jauh tentang posisi etnometodologi dengan perspektif yang lain dapat dilihat dalam bagan berikut:
Tokoh dan Aliran yang Mengilhami Etnometodologi
Aliran Chicago I:
- William Thomas 1863-1944)
- Robert E. Park (1864-1944)
Aliran Chicago II:
- E. Hughes 1897-1983)
- Herbert Blumer (1901-1987)
Interaksionisme Simbolik:
- Howard S. Becker (1928)
- Anselm Strauss (1916-1998)
- Erving Goffman (1922-1982)
George H. Mead
(1863-1931)
Etnometodologi:
- Garfinkel (1917)
- A. Cicourel
Fenomenologis:
Alfred Shutz
(1899-1959)
Analisis Percakapan:
Harvey Sacks
Max Weber
( 1864-1920)
Talcott Parsons
(1902-
Sumber: Diadaptasikan dari Antoni Giddens, etc.2004:118
C. Apa itu Etnometodologi ?
Etnometodologi adalah sebuah aliran sosiologi Amerika, yang dikemukakan pada awalnya oleh Harold Garfinkel dalam tahun 1940-an, dan secara sistematis dikenal sejak dipublikasikannya karya Harold Garfinkel di tahun 1967, yaitu: Studies in Ethnomethodology (George Ritzer 1992: 396).
Mehan and Wood dalam Neuman (1997:346-347) mendefinisikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia, pandangan etnometodologi berasal dari kehidupan ... etnometodologi berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi ... ia berbeda banyak dari sosiologi dan juga psikologi. Dengan sederhana etnometodologi memiliki batasan sebagai kajian common sense, etnometodologi sebagai kajian dari observasi penciptaan yang digunakan terus menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang sewajarnya.
Heritage (dalam George Ritzer 1996:235) menyatakan bahwa etnometodologi dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa, mereka bisa mencarai jalan dan bisa bertindak dalam keadaan di mana mereka bisa menemukan dirinya sendiri. Menurut Muhadjir (2000:129-130) etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri.
Istilah etnometodologi berkaitan dengan konsepsi teoretik fenomena sosial. Etnometodologi mengacu pada kegiatan ilmiah yang menganalisis metode-metode atau prosedur-prosedur yang digunakan manusia untuk menuntun mereka dalam berbagai kegiatan kehidupan kesehariannya. Dengan demikian, etnometodologi dapat didefinisikan sebagai ilmu etnometode, prosedur-prosedur yang disebut Garfinkel sebagai “penalaran sosiologi praktis” (Alain Coulon 2004:x-xi).
Singkatnya, etnometodologi menyangkut studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari, khususnya aspek-aspek interaksi sosial yang diambil begitu saja. Garfinkel secara sederhana (Poloma, 2003:281) membatasi etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Termasuk pendekatan yang menjelaskan “pertanggungjawaban tindakan praktis yang rasional” ini ialah:
1). Perbedaan antara ungkapan yang obyektif dan yang indeksikal.
2). Refleksivitas berbagai tindakan praktis, dan
3). Kemampuan menganalisa tindakan tersebut dalam konteks sehari-hari.
Jadi yang menjadi masalah bagi para ahli etnometodologi ialah bagaimana (dengan metode apa) orang menangkap dunia mereka sehari-hari. Para ahli tersebut menyinggung dengan cara bagaimana orang menerima keteraturan atau pola-pola realitas mereka. Bahasa dan makna yang dikaitkan pada simbol-simbol signifikan yang demikian merupakan sumber-sumber penting dari ungkapan indeksikal.
Secara umum etnometodologi menurut Philip Jones (1985:75) memiliki tiga asumsi:
Kehidupan sosial sifatnya rentan. Apapun bisa terjadi dalam interaksi sosial.
para aktor tidak pernah menyadari ini,
mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan yang praktis yang penting untuk membuat dunia itu nampak seperti yang diinginkannya.
Istilah Etnometodologi
Di dalam suatu seminar pada tahun 1967 di Purdue, Garfinkel menceritakan (Alain Coulon 2004:55) bahwa pada tahun 1954, ia diajak untuk meneliti anggota dewan juri di pengadilan oleh Fred Strodtbeck dan Saul Mendlovitz, yang mengajar di Fakultas Hukum di Chicago. Strodtbeck meletakkan alat perekam secara tersembunyi di ruang rapat pengadilan Wichita, agar dapat merekam kegiatan musyawarah para juri. Garfinkel terkejut oleh kenyataan bahwa para juri yang tidak diajarkan teknik-teknik hukum mampu menguji, mengkaji tindak pidana dan mengutarakan kesalahan para pelakunya. Untuk melakukan itu, mereka menggunakan berbagai prosedur dan logika penilaian bersama, seperti membedakan benar dan salah, kemungkinan dan ketepatan; mereka mampu mengevalusi ketepatan argumen yang dikemukakan selama proses pengadilan.
Dalam kegiatan tersebut kita melihat kehadiran semacam praktek evaluasi dan penilaian yang dapat dideskripsikan, tetapi Garfinkel belum mempunyai istilah yang tepat untuk hal tersebut. Pada tahun 1955, ia menemukan istilah etnometodologi secara kebetulan. Ketika sedang membaca katalog-katalog berkenaan dengan dokumen-dokumen etnografik:
“Pada saat itu saya sedang meneliti dokumen-dokumen lintas budaya di Yale. Saya membolak-balik katalog tanpa bermaksud menemukan kata tersebut. Saya membaca secara sepintas judul-judul, dan saya sampai pada bagian etnobotanik, etnofisiologi dan etnofisik. Ketika itu saya sedang berurusan dengan para juri yang mengaplikasikan suatu metodologi, tetapi bagaimana menamakannya?
Beginilah kata etnometodologi digunakan pada awalnya. Etno tampak mengacu pada cara bagaimana seorang anggota memiliki pengetahuan umum mengenai masyarakatnya, yaitu pengetahuan “tentang apa yang seharusnya”. Jika berkaitan dengan etnobotanik, kita harus berurusan dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki para anggota tentang metode-metode yang tepat untuk mengkaji hal-hal botanik. Dari cara yang sederhana inilah, istilah etnometodologi dimaknakan”.
(Garfinkel, dalam Alain Coulon 2004:56-57)
D. Etnometodologi Dalam Ranah Penelitian Kualitatif
Etnometodologi memang memiliki kekuatan sebagai metode yang otonom, terutama untuk mengupas berbagai masalah sosial. Etnometodologi merupakan kelompok metode dalam ranah penelitian kualitatif yang memusatkan kajiannya pada realita yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada perilaku nyata (Denzin and Lincoln 1994:204).
Perkembangan penelitian dengan pendekatan ini memiliki ragam yang berbeda, karena subjek matternya adalah aneka jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul jenis kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu, termasuk tentu saja terhadap ilmu komunikasi.
Etnometodologi memiliki berbagai macam variasi dalam penelitiannya. Maynard dan Clayman (dalam George Ritzer 1996:337) menggambarkan sejumlah variasi kerja Etnometodologi, antara lain:
1). Studi etnometodologi yang berlatarbelakang Analysis Institutional (Studies of Institutional Setting).
Studi etnometodologi pertama terjadi dalam setting sambil lalu dan non institutional seperti di rumah. Kemudian berkembang untuk mempelajari praktek-praktek keseharian dalam setting institutional yang lebih luas, seperti dipengadilan, klinik medis dan kantor polisi. Tujuan dari studi semacam ini adalah untuk memahami cara masyarakat dalam setting tersebut melakukan tugas-tugas resminya dalam proses pembentukan institusi. Penelitian sosiologi konvensional dari setting pranata semacam ini menitikberatkan pada struktur, aturan-aturan formal dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang masyarakat lakukan dalam lingkup mereka.
2). Studi etnometodologi yang menaruh perhatian pada Analisis Percakapan (conversation analysis).
Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Analisis percakapan adalah suatu penelitian tentang struktur dan ciri khas formal bahasa yang dilihat dalam penggunaannya dari sisi sosial. Menurut Zimmerman, 1988 (dalam George Ritzer 1992:397), tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan.
Lebih lanjut Zimmerman, 1988 (dalam George Ritzer 1992:397) merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis.
a. Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.
b. Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri.
c. Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
d. Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential.
e. Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
E. DAFTAR PUSTAKA
Coulon, Alain. (Terj. Jimmy Ph. PAAT.). 2004. Etnometodologi. Yayasan Legge Mataram.
Cuff, E.C., & G.C.F. Payne (eds). 1981. Perspectives in Sociology. George Allen & Unwin Publishers, London.
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln (eds.) 1994. Handbooks of Qualitatitive Research. Sage London.
Giddens, Anthony and Jonathan Turner (ed). 1987. Social Theory Today. Standford University Press California.
Giddens, Anthony, Daniel Bell, Mitchel Forse. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Irving, M, Zeitlin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Jones, Philip. 1985. Theory and Method in Sociology. A Guide For The Beginner. University Tutorial Press Limited, London.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda, Bandung.
Neuman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. 3 rd Edition. Allyn and Bacon, Boston.
Poloma, Margaret, M., 2003. Sosiologi Kontemporer. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. McGraw-Hill. Inc, Singapore
-----------. 1992. Sociological Theory. McGraw-Hill. Inc., Singapore
-----------, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali Press, Jakarta.
[1] Penulis adalah mahasiswa Program Doktor (S3) Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Suatu Penelitian Kualitatif
ETHNOMETHODOLOGY:
A Research Qualitative
Oleh:
Farid Hamid Umarella [1]
ABSTRACT
Ethnomethodology is an American sociology stream. Ethnomethodology is the invention of Harold Garfinkel, whose seminal work is Studies in Ethnomethodology in 1967. Ethnomethodology is reckoning fact of the social groups, and the social groups can comprehend and analyze their self. In simple terms, ethnomethodology seeks to understand how the taken-for-granted character of everyday life is accomplished. The methodology in the term refers not to scientific methodology, but to the methods people use to construct sensible, orderly ways of doing things. These studies more comprehensive to common sense reality, which starting from phenomenology tradition from Schultz. The research domain qualitative that is develops by pass wide and analytical band to various rich construction cover conversation analysis and interpretive method.
Key Words: Ethnomethodology, Common Sense.
A. Pendahuluan
Perkembangan etnometodologi sebenarnya relatif baru bila dibandingkan dengan pendekatan Struktural fungsional dan interaksionis-simbolis yang sudah mapan. Pendekatan etnometodologi memiliki ragam yang berbeda, karena subject matternya adalah berbagai jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu. Etnometodologi dengan analisis percakapannya tidak dapat dipungkiri juga memberi pengaruh yang besar dalam agenda penelitian komunikasi. Khususnya menyangkut konsep percakapan sebagai suatu bentuk interaksi.
Orang sering mengira etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga dipertukarkan dengan etnografi. Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian ilmu sosial. Dikatakan radikal karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara yang dilakukan para sosiolog sebelumnya.
Pada tataran teoretis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim tentang fakta sosial, baginya “aktor-sosial” bersifat menentukan dan tidak pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial. Dalam pemikiran etnometodologi, para sosiolog yang menitikberatkan pada fakta sosial itu disebut sebagai “kesepakatan si-dungu” (judgment-dopes), sebab kalangan etnometodologi melihat fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologi anggota, bersifat lokal dan dihasilkan secara endogenous untuk mengatasi masalahnya sendiri (George Ritzer 1996: 235, Denzin 1994:264).
B. Perspektif yang Mengilhami Etnometodologi
Etnometodologi diilhami oleh karya-karya Talcot Parson dan Alfred Schutz. Sumber lain yang mempengaruhi karyanya adalah Durkheim, Weber, Mannheim, Edmun Husserl, Aaron Gurwitsch, Maurice Merleau-Ponty dan lain-lain. Talcot Parson sendiri adalah promotor Garfinkel ketika melanjutkan pendidikan doktornya pada tahun 1946 sampai dengan 1952 di Universitas Harvard.
Walaupun Garfinkel telah mengakui adanya pengaruh dari para pemikir lain, tetapi terbukti bahwa Schutz dengan fenomenologinya merupakan sumber utama dari etnometodologi. Wajarlah jika. George Ritzer (1975) melihat fenomenologi dan etnometodologi sebagai dua komponen teoritis dari “paradigma definisi sosial” ; Monica Morris (1977) melihatnya sebagai dua variasi dari apa yang disebutnya “sosiologi kreatif”; Jack Douglas (1980) dan Andrew Weigert (1981) memasukkan mereka sebagai “sosiologi kehidupan sehari-hari; dan Richard Hilbert (1986) melihatnya sebagai variasi “konstruksi sosial” (George Ritzer 1992: 371).
Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Di sini terlihat teori Schutz, sangat mirip dengan interaksionis simbolis dari George Herbert Mead, tetapi menurut Schutz dunia intersubyektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda, yang mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatiannya kepada dunia sehari-hari yang merupakan common sense atau diambil begitu saja. Realitas seperti inilah yang kita terima, dengan mengenyampingkan setiap keraguan.
Realitas common-sense dan eksistensi sehari-hari itu dapat disebut sebagai kepentingan praktis kita dalam dunia sosial. Kepentingan praktis ini dilawankan dengan kepentingan ilmiah atau teoretis kaum ilmiawan. Teori ilmiah mencoba meneliti dan memahami dunia secara sistematis. Menurut Schutz, orang bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah, tetapi oleh kepentingan praktis. Dunia intersubjektif ini sama-sama dimiliki dengan orang lain yang juga mengalaminya.
Pembahasan realitas common sense oleh Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif untuk melaksanakan studi etnometodologinya, dan menyediakan dasar teoretis bagi risalah-risalah etnometodologis yang lain. Etnometodologi secara empiris telah mencoba menunjukkan observasi filosofis yang dilakukan Schutz.
Sumber lain dari etnometodologi.adalah interaksi simbolik khususnya “Aliran Sosiologi Chicago” merupakan asalnya, dan Robert Park, Ernest Burges dan William I. Thomas merupakan tokoh-tokoh utama aliran tersebut. Etnometodologi bersama dengan perspektif labeling theory dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance) dan perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, bahkan dapat dianggap varian-varian interaksionisme simbolik (Deddy Mulyana 2001:68). Etnometodologi mempunyai sejumlah persamaan dengan pendekatan ini, karena sama-sama berpandangan bahwa realitas dunia sosial bersifat subjektif. (Poloma 2003:278). Selain itu dalam interaksi tatapmuka (face to face) kesamaan (commonalities), termasuk sebagai inti analisa, menekankan pentingnya bahasa, dan mencoba menjelaskan realitas empiris dari manusia yang sedang diteliti.
Keotentikkan pengetahuan sosiologi, menurut para interaksionis, terletak di dalam pengalaman langsung dari interaksi sehari-hari. Para aktor memainkan peran kreatif dalam mengkonstruksi kehidupan sehari-hari mereka.
Untuk jauh tentang posisi etnometodologi dengan perspektif yang lain dapat dilihat dalam bagan berikut:
Tokoh dan Aliran yang Mengilhami Etnometodologi
Aliran Chicago I:
- William Thomas 1863-1944)
- Robert E. Park (1864-1944)
Aliran Chicago II:
- E. Hughes 1897-1983)
- Herbert Blumer (1901-1987)
Interaksionisme Simbolik:
- Howard S. Becker (1928)
- Anselm Strauss (1916-1998)
- Erving Goffman (1922-1982)
George H. Mead
(1863-1931)
Etnometodologi:
- Garfinkel (1917)
- A. Cicourel
Fenomenologis:
Alfred Shutz
(1899-1959)
Analisis Percakapan:
Harvey Sacks
Max Weber
( 1864-1920)
Talcott Parsons
(1902-
Sumber: Diadaptasikan dari Antoni Giddens, etc.2004:118
C. Apa itu Etnometodologi ?
Etnometodologi adalah sebuah aliran sosiologi Amerika, yang dikemukakan pada awalnya oleh Harold Garfinkel dalam tahun 1940-an, dan secara sistematis dikenal sejak dipublikasikannya karya Harold Garfinkel di tahun 1967, yaitu: Studies in Ethnomethodology (George Ritzer 1992: 396).
Mehan and Wood dalam Neuman (1997:346-347) mendefinisikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia, pandangan etnometodologi berasal dari kehidupan ... etnometodologi berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi ... ia berbeda banyak dari sosiologi dan juga psikologi. Dengan sederhana etnometodologi memiliki batasan sebagai kajian common sense, etnometodologi sebagai kajian dari observasi penciptaan yang digunakan terus menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang sewajarnya.
Heritage (dalam George Ritzer 1996:235) menyatakan bahwa etnometodologi dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa, mereka bisa mencarai jalan dan bisa bertindak dalam keadaan di mana mereka bisa menemukan dirinya sendiri. Menurut Muhadjir (2000:129-130) etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri.
Istilah etnometodologi berkaitan dengan konsepsi teoretik fenomena sosial. Etnometodologi mengacu pada kegiatan ilmiah yang menganalisis metode-metode atau prosedur-prosedur yang digunakan manusia untuk menuntun mereka dalam berbagai kegiatan kehidupan kesehariannya. Dengan demikian, etnometodologi dapat didefinisikan sebagai ilmu etnometode, prosedur-prosedur yang disebut Garfinkel sebagai “penalaran sosiologi praktis” (Alain Coulon 2004:x-xi).
Singkatnya, etnometodologi menyangkut studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari, khususnya aspek-aspek interaksi sosial yang diambil begitu saja. Garfinkel secara sederhana (Poloma, 2003:281) membatasi etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Termasuk pendekatan yang menjelaskan “pertanggungjawaban tindakan praktis yang rasional” ini ialah:
1). Perbedaan antara ungkapan yang obyektif dan yang indeksikal.
2). Refleksivitas berbagai tindakan praktis, dan
3). Kemampuan menganalisa tindakan tersebut dalam konteks sehari-hari.
Jadi yang menjadi masalah bagi para ahli etnometodologi ialah bagaimana (dengan metode apa) orang menangkap dunia mereka sehari-hari. Para ahli tersebut menyinggung dengan cara bagaimana orang menerima keteraturan atau pola-pola realitas mereka. Bahasa dan makna yang dikaitkan pada simbol-simbol signifikan yang demikian merupakan sumber-sumber penting dari ungkapan indeksikal.
Secara umum etnometodologi menurut Philip Jones (1985:75) memiliki tiga asumsi:
Kehidupan sosial sifatnya rentan. Apapun bisa terjadi dalam interaksi sosial.
para aktor tidak pernah menyadari ini,
mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan yang praktis yang penting untuk membuat dunia itu nampak seperti yang diinginkannya.
Istilah Etnometodologi
Di dalam suatu seminar pada tahun 1967 di Purdue, Garfinkel menceritakan (Alain Coulon 2004:55) bahwa pada tahun 1954, ia diajak untuk meneliti anggota dewan juri di pengadilan oleh Fred Strodtbeck dan Saul Mendlovitz, yang mengajar di Fakultas Hukum di Chicago. Strodtbeck meletakkan alat perekam secara tersembunyi di ruang rapat pengadilan Wichita, agar dapat merekam kegiatan musyawarah para juri. Garfinkel terkejut oleh kenyataan bahwa para juri yang tidak diajarkan teknik-teknik hukum mampu menguji, mengkaji tindak pidana dan mengutarakan kesalahan para pelakunya. Untuk melakukan itu, mereka menggunakan berbagai prosedur dan logika penilaian bersama, seperti membedakan benar dan salah, kemungkinan dan ketepatan; mereka mampu mengevalusi ketepatan argumen yang dikemukakan selama proses pengadilan.
Dalam kegiatan tersebut kita melihat kehadiran semacam praktek evaluasi dan penilaian yang dapat dideskripsikan, tetapi Garfinkel belum mempunyai istilah yang tepat untuk hal tersebut. Pada tahun 1955, ia menemukan istilah etnometodologi secara kebetulan. Ketika sedang membaca katalog-katalog berkenaan dengan dokumen-dokumen etnografik:
“Pada saat itu saya sedang meneliti dokumen-dokumen lintas budaya di Yale. Saya membolak-balik katalog tanpa bermaksud menemukan kata tersebut. Saya membaca secara sepintas judul-judul, dan saya sampai pada bagian etnobotanik, etnofisiologi dan etnofisik. Ketika itu saya sedang berurusan dengan para juri yang mengaplikasikan suatu metodologi, tetapi bagaimana menamakannya?
Beginilah kata etnometodologi digunakan pada awalnya. Etno tampak mengacu pada cara bagaimana seorang anggota memiliki pengetahuan umum mengenai masyarakatnya, yaitu pengetahuan “tentang apa yang seharusnya”. Jika berkaitan dengan etnobotanik, kita harus berurusan dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki para anggota tentang metode-metode yang tepat untuk mengkaji hal-hal botanik. Dari cara yang sederhana inilah, istilah etnometodologi dimaknakan”.
(Garfinkel, dalam Alain Coulon 2004:56-57)
D. Etnometodologi Dalam Ranah Penelitian Kualitatif
Etnometodologi memang memiliki kekuatan sebagai metode yang otonom, terutama untuk mengupas berbagai masalah sosial. Etnometodologi merupakan kelompok metode dalam ranah penelitian kualitatif yang memusatkan kajiannya pada realita yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada perilaku nyata (Denzin and Lincoln 1994:204).
Perkembangan penelitian dengan pendekatan ini memiliki ragam yang berbeda, karena subjek matternya adalah aneka jenis perilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga banyak muncul jenis kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu tertentu, termasuk tentu saja terhadap ilmu komunikasi.
Etnometodologi memiliki berbagai macam variasi dalam penelitiannya. Maynard dan Clayman (dalam George Ritzer 1996:337) menggambarkan sejumlah variasi kerja Etnometodologi, antara lain:
1). Studi etnometodologi yang berlatarbelakang Analysis Institutional (Studies of Institutional Setting).
Studi etnometodologi pertama terjadi dalam setting sambil lalu dan non institutional seperti di rumah. Kemudian berkembang untuk mempelajari praktek-praktek keseharian dalam setting institutional yang lebih luas, seperti dipengadilan, klinik medis dan kantor polisi. Tujuan dari studi semacam ini adalah untuk memahami cara masyarakat dalam setting tersebut melakukan tugas-tugas resminya dalam proses pembentukan institusi. Penelitian sosiologi konvensional dari setting pranata semacam ini menitikberatkan pada struktur, aturan-aturan formal dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang masyarakat lakukan dalam lingkup mereka.
2). Studi etnometodologi yang menaruh perhatian pada Analisis Percakapan (conversation analysis).
Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Analisis percakapan adalah suatu penelitian tentang struktur dan ciri khas formal bahasa yang dilihat dalam penggunaannya dari sisi sosial. Menurut Zimmerman, 1988 (dalam George Ritzer 1992:397), tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan.
Lebih lanjut Zimmerman, 1988 (dalam George Ritzer 1992:397) merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis.
a. Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.
b. Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri.
c. Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
d. Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential.
e. Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
E. DAFTAR PUSTAKA
Coulon, Alain. (Terj. Jimmy Ph. PAAT.). 2004. Etnometodologi. Yayasan Legge Mataram.
Cuff, E.C., & G.C.F. Payne (eds). 1981. Perspectives in Sociology. George Allen & Unwin Publishers, London.
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln (eds.) 1994. Handbooks of Qualitatitive Research. Sage London.
Giddens, Anthony and Jonathan Turner (ed). 1987. Social Theory Today. Standford University Press California.
Giddens, Anthony, Daniel Bell, Mitchel Forse. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Irving, M, Zeitlin. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Jones, Philip. 1985. Theory and Method in Sociology. A Guide For The Beginner. University Tutorial Press Limited, London.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda, Bandung.
Neuman, W. Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. 3 rd Edition. Allyn and Bacon, Boston.
Poloma, Margaret, M., 2003. Sosiologi Kontemporer. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. McGraw-Hill. Inc, Singapore
-----------. 1992. Sociological Theory. McGraw-Hill. Inc., Singapore
-----------, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali Press, Jakarta.
[1] Penulis adalah mahasiswa Program Doktor (S3) Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Langganan:
Postingan (Atom)